Resensi Novel Frankfurt to Jakarta. Janji, Kenangan, dan Takdir

Judul                    : Frankfurt to Jakarta. Janji, Kenangan, dan Takdir

Penulis                : Leyla Hana dan Annisah Rasbell

Penerbit              : Edu Penguin

Tahun terbit         : 2013

ISBN                    : 602- 17777- 2- 7

cover novel Frankfurt

Ketertarikan pada novel ini datang begitu membaca judulnya. Frankfurt to Jakarta, gambaran kota-kota khas Eropa seketika memenuhi imajinasiku. Untuk kaki yang doyan menjelajah dan jiwa yang selalu haus petualangan model novel beginilah yang kusuka. Membaca novel sembari traveling kenegara-negara indah yang belum sempat kusambangi. Merasa kenal cukup baik dengan penulisnya (sok kenal banget yah), langsung cuuzz memesan pada mak Leyla Hana yang memang namanya sudah kondang dijagad raya tulis-menulis Indonesia (sudah 19 buku lho yang diterbitkan, hebat euy). Tanpa bertanya jalan ceritanya, langsung deh kuspesan, pokoknya aku sudah siap melanglang buana kekota Frankfurt, menghindari panas Sidoarjo. Ternyata eh ternyata ……

Janji, cinta, kenangan, dan poligami. Kata terakhir itu tuh, tema yang hampir semua perempuan didunia ini benci, termasuk aku, hiks… Tema yang selalu asyik dibahas tapi tidak untuk dihadapi. Meskipun pada kenyataannya, Allah melegalkan poligami, tapi hatiku masih menganggap ini sebuah perbuatan keji dan munkar hehehe… Well secara garis besar novel ini menceritakan cinta segitiga antara tiga tokoh utamanya, Rianda, Fedi, dan Andini. Cinta Rianda dan Fedi yang bersemi saat sama-sama sedang menempuh studi dikota Frankfurt, Jerman seketika kandas karena orang tua Fedi menjodohkannya dengan Andini, gadis polos asli Betawi. Fedi yang sudah melamar Rianda sebelum kembali ke Jakarta seketika luluh oleh sorot mata Andini, gadis pilihan orang tuanya. Fedi dan Andini akhirnya menikah, sedangkan Rianda menenggelamkan dirinya dalam karir karena kehilangan cinta tanpa sebab yang jelas.

 Tokoh Rianda dan Andini sangat bertolak belakang, Rianda yang modern, berpendidikan tinggi, pede, sedangkan Andini adalah gadis penurut yang amat polos. Keduanya toh punya kesamaan, ingin mengejar mimpi mereka dan sama-sama mencintai Fedi. Membaca novel ini sejak awal aku langsung terikat pada tokoh Rianda, terlebih saat Rianda harus kehilangan Fedi tanpa disangka dan dinyana. Fedi dengan mulut manis dan sikap romantisnya berjanji akan menunggu Rianda di Indonesia seketika berubah haluan dan menikah dengan gadis pilihan orang tuanya. Tanpa penjelasan, Rianda dicampakkan, hanya sebuah undangan elektronik di facebook yang mengabarkan pernikahan Fedi dan Andini. Aku langsung bisa menyelami penderitaan Rianda karena kisah yang sama benar-benar pernah terjadi padaku, nyesek banget mak bacanya. 😦 Disaat itulah aku langsung memutuskan tidak akan menyukai tokoh Andini. Ketidaksukaan ini makin menjadi kala Andini, dengan segudang impiannya menjadi sarjana dan waniita karir mau aja dijodohkan tanpa melawan sepatah katapun. Geregetan rasanya, jadi cewek kok nggak berprinsip sih!!!

Pendirianku seketika berbalik dibeberapa adegan saat Andini mulai merasakan kehampaan tak berapa lama setelah menikah. Sikap suami yang dulunya manis berubah jadi hambar. Impiannya untuk kuliah lagi hancur saat anak-anak mulai hadir dalam keluarga kecilnya, belum lagi sikap Fedi yang terlalu membatasi ruang geraknya. “Kok ada lelaki yang masih mengekang isrti, sarjana lulusan Jerman pula?” batinku sambil nglethak modem (yang hari itu lagi eror). Maafkan diriku mak Leyla, tapi beginilah aku, saat membaca novel, sepenuhnya aku masuk kedalam cerita, seakan aku memerankan salah satu tokohnya hehehe… Menurutku sih, masing –masing tokoh terasa hidup dengan karakternya masing-masing. Aku membayangkan mbak Annisah Rasbell mewakili Rianda yang modern, penuh percaya diri meraih mimpinya walaupun dalam dirinya ada ruang hampa karena kehilangan cinta Fedi, sedangkan Andini yang polos, lembut, dan penurut diperankan dengan cantiknya oleh mbak Leyla Hana. Untuk tokoh Fedi, sampai detik ini aku masih menganggap lelaki macam ini (romantis abis tapi plin plan) sebaiknya dibina (sakan) saja. 😉 Ini salah satu kalimat Fedi yang bikin geregetan mak. Dengan polosnya bilang masih cinta setelah mencampakkan Rianda dengan mudahnya, bahkan setelah menikah bertahun-tahun dan dikaruniai 2 orang anak. Untuk kedua kalinya aku kembali nglethak modemku. 😉

“Belum pernah sempat aku meminta maaf kekamu, Rianda. Kamu pasti tidka dapat membayangkan bagaimanan aku juga sebenarnya merasa sangat kehilangan kamu. Aku hanya ingin kamu tahu, kalau aku masih dan selalu menicntaimu Rianda.” (Hana & Rasbell, 2013: 160)

Dari sudut point of view aku awalnya sempet bingung. Diawal cerita tokoh Rianda menggunakan sudut pandang orang pertama (Aku), tapi sudut pandang tiba-tiba berubah pada karakter Andini yang menggunakan sudut pandang orang ketiga (omniscient). Awalnya merasa nggak nyaman dan rada bingung (balik lagi karena terlalu menjiwai karakternya hehe), tapi mungkin karena novel ini adalah project duet, sehingga masing-masing penulis punya cirinya sendiri. Lama-kelamaan pembaca akan terbiasa juga dengan point of view dan alur cerita yang berpindah-pindah. Meskipun demikian penulis sangat apik menggambarkan keindahan kota Frankfurt yang penuh dengan bangunan-bangunan bersejarah bergandengan apik dengan gedung-gedung modern sebagai salah satu setting cerita. Baru tahu kalo Frankfurt disejajarkan dengan kawasan Manhattan di NY. Hawa dingin dan suasana romantic Frankfurt seketika berganti saat membayangkan Andini menembus kerumunan manusia, berebut tempat duduk didalam angkot

“ Gedung-gedung pencakar langit seperti salah satunya Commerzbank Tower, yang menjaid salah satu lambing yang identic dengankota Frankfurt. Hotel-hotel disepanjang pesisir sungai menaburkan nuansa yang wah denganhiasan lampu yang benderang. ….. Lampu-lampu megatron dari gedung skycrapers menari genit memikat  seluruh mata yang memandangnya. Tak salah jika Frankfurt am Main, disejajarkn dengan kota Manhattan di USA sana.” (Hana & Rasbell, 2013: 56)

“Pagi hari dihari kerja adalah waktu berkerumun sebagian besar manusia dnegan berbagai kepentingan. Stasiun Depok dan Terminal Depok yang letaknya berdekatan, belum lagi disebelahnya berdiri sebuah mall besar ITC Depok, membuat lokasi itu disesaki oleh orang-orang yang berjalan merayap bak semut.” (Hana& Rasbell, 2013: 36)

aku yang lagi asyik-asyiknya menikmati suasana winter di Frankfurt  tiba-tiba harus berdesakan dengan ribuan manusia dikota Depok yang semrawut. Sungguh perpaduan yang sangat kontras. Rasanya seperti naik roller coaster, sebentar disana sebentar disini hehehe. 😉

Bersyukur atas segala yang kita miliki, itulah hikmah yang kuambil setelah mengkhatamkan novel ini. Melepaskan masa lalu memang berat, tapi yakinlah saat pintu satu tertutup Allah akan membukakan pintu yang lain untuk kita (asal kita mau melihatnya). Kadangkala kita sibuk menengok kebelakang dan menyesali semua yang terjadi sehingga lupa mensyukuri apa yang ada didepan mata kita (sok wise banget sih). Jadi gimana ending ceritanya?? Apakah Fedi akhirnya memutuskan berpoligami?? Silakan dibaca sendiri deh. Two thumbs up buat novelnya mak Leyla Hana yang membuatku cuti dari dapur demi bisa jalan-jalan di Frankfurt, berdesakan dalam angkot di Bogor, mendakin gunung Nglanggeran dan mengkhatamkannya dalam sehari. Can’t wait to read your next novel mak. 🙂

cover novel Frankfurt

23 thoughts on “Resensi Novel Frankfurt to Jakarta. Janji, Kenangan, dan Takdir

  1. Hadoooh Mak Munaaa… asik banget baca resensinya nih, Mak. Ketawa-ketawa sendiri deh aku jadinya. Walopun banyak typo tuh Mak (loh koq jadi aku yg ngritik :D). Makasiih ya, Maaak.. maap jadi gak bisa ke dapur, tp keluarga masih makan kan? :* Kasian modemnya, Mak, moga baik-baik aja yaa….

    Like

    • Masa si banyak typo mak? padahal sebelum posting udah aku cek lagi lho, aku mang kurang teliti nih ;(
      btw biar aja modemnya digigit, abis sering eror si, biar jadi pelampiasan kekesalan sama Fedi 😉

      Like

  2. Aku juga suka gemes sama laki-laki yang plin-plan apalagi yang kepedean membagi hati, menebar pesona pada beberapa wanita… Puhhhh… Geram! 😀 Kayaknya kalau aku baca novel ini reaksiku bakalan mirip nih sama mbak Muna.

    Like

  3. Hehe sukses resensinya bikin penasaran… dua kali nyoba bikin resesnsi kayaknya aku malah mbocorin isi buku. keripiknya sama mak, periksa typo dan tanda baca. *sok paham EYD aku 😆 maaf lah

    Like

  4. iih…tokoh cowoknya nyebelin mbak =)) #jadiemosi.
    Ninggalin cewek buat nikahin cewek lain padahal sudah berjanji #halah, trus pas udah menikah dan ketemu cewek yang lama berani2nya bilang masih dan akan selalu cinta. haiisshh..itu anak istri ada di rumaah paak…
    ahahahhaa… aku emosi gini jadinya =))

    Like

  5. Cinta cinta kenapa kau membuat hati ini sakit. o..o…o…

    Hahaaa saya juga ikut tenggelam dalam resensimu Mbk.

    Benar-benar kehidupan yang menguras fikiran.

    Bukunya saya bookmark, siapa tau bisa kesampaian memilikinya.

    Terimakasih.

    Like

    • Cinta…. deritanya tiada akhir …. huuhuhuhu….
      lain kali bacanya pake pelampung mas biar nggak tenggelam 😉 silakan berburu bukunya dan bergemes gemes ria saat membaca.
      makasih kunjungannya 🙂

      Like

  6. Jadi, ga ada deh yang namanya jalan buntu itu ya, Mbak Muna. Senantiasa ada jalan keluar dari permasalahan hidup yang kita hadapi. Waaah…, pengen baca langsung neh novel gara-gara resensi yang ciamik ini 🙂

    Semoga sukses ya, Mbak Muna.
    Salam hangat dari Jogjakarta.

    Like

Leave a comment