Gelombang Tsunami Datang Bersamamu

“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat: 13)

 

Mengapa kubuka postingan kali ini dengan penggalan sebuah surat Al Quran? Apa pula hubungannya jodohku dengan gelombang tsunami dengan jodohku, kok ya serem betul judulnya? Yah memang begitulah adanya, gelombang tsunami yang pernah meluluhlantakkan bumi Serambi Mekkah rupanya mengantarkan sesosok pria yang kini menjadi imamku.

Kata-katamu adalah doa

Sejak kecil aku sangat suka traveling. Saat liburan sekolah tiba, papa mengajak kami mengunjungi tempat-tempat wisata. Kenangan indah itulah yang membuatku mencintai traveling hingga detik ini. Aku ingat suatu hari seorang teman saat SMA pernah bertanya mengenai kriteria lelaki yang akan menjadi suamiku. “Dia harus hobby traveling. Dia harus berasal dari jauh, kalau bisa sangat jauh. Aku pengen jalan-jalan,  merasakan mudik ke tempat yang sangat jauh, di luar pulau Jawa,” jawabku tegas. Menurut teman-teman jawabanku sangat aneh, siapa yang mau hidup jauh dari orang tua? Tapi itulah impianku. Aku ingin mengelilingi bumi Allah bersama kekasih hatiku dunia akhirat. 🙂

Kemudian temanku kembali bertanya mengenai pernikahan impianku (maklum lah lagi ABG, baru ngerasain jatuh cinta ceritanya hehehe). “Ah pernikahan yang penting sah, nggak perlu pesta tujuh hari tujuh malam. Tak ada hari jelek, bahkan aku ingin sekali menikah di bulan Muharram. 1 Muharram kalau bisa,” jawabku lagi. Lagi-lagi temanku menganggapku mahluk aneh. Bulan Muharram adalah bulan “jelek” bagi sebagian besar orang Jawa, pamali menikah di bulan itu. Benarkah??

Bertemu Dia

Aku sudah mengenalnya cukup lama, kurang lebih setahun sebelum terjadinya tsunami. Abang (begitu seterusnya kusebut hingga detik ini) adalah teman dari salah seorang sahabatku. Begitulah awalnya, tak lebih dari teman biasa. Waktu itu sang mantan meninggalkanku tanpa kabar berita. Hanya sepucuk surat undangan pernikahan yang tiba-tiba datang beberapa hari sebelum ujian skripsiku (sadis.com). Banyak teman yang membantuku melalui masa sulit ini, salah satunya adalah abang. Abang sering bercerita mengenai hobbynya mendaki gunung bersama teman-temannya sekedar untuk pelipur laraku. Entah kenapa selalu ada rasa tenang dan nyaman setiap kali curhat dengannya. Hubungan pertemanan ini terus terjalin walaupun aku tahu abang sebenarnya punya rasa yang lain, tapi sungguh aku tak berminat lagi menjalin hubungan. Kalau memang ada pria baik yang datang, insyaallah menikah adalah jalan terbaik.

Setelah lulus dari FE. Undip abang bekerja di Kudus, sedangkan aku masih di Semarang. Kami hanya bertemu sesekali sampai sebuah kabar menyedihkan datang. Desember 2006, gelombang tsunami menghancurkan tanah kelahiran abang. Alhamdhulilah keluarga besar abang selamat, kecuali beberapa orang sepupunya yang hilang bersama gulungan ombak tsunami. Semasa kuliah dulu abang adalah ketua Ikatan Pemuda Aceh Semarang (IPAS) sehingga muncul rasa tanggung jawab melindungi adik-adiknya yang sedang di rundung duka teramat dalam. Abang membantu menghubungi keluarga mereka, menghibur, mendukung, bahkan mengupayakan beasiswa bagi adik-adiknya yang kehilangan orang tua. Seluruh perhatian dan waktunya dicurahkan untuk membantu adik-adiknya melewati cobaan berat ini. Saat itulah aku melihat sosok seorang lelaki yang sholeh, lembut, baik hati, dan penuh tanggung jawab. From that moment on, I knew that he is the one I’ve been waiting for.

Beberapa bulan setelah tsunami abang di terima bekerja di Surabaya, jarak pun semakin membentang diantara kami. Suatu hari abang bilang ingin bertemu papa dan ingin mengutarakan kesungguhannya padaku. Kaget?? Ya iyaaa laahh secara kami baru dekat beberapa bulan. Aku memang pernah bilang kalau malas pacaran, kalau serius langsung saja dilamar, ternyata perkataanku ditanggapinya serius. Akhirnya setelah janjian sama papa, bertemulah mereka pada suatu sore di rumah kami. Dari jauh ku dengar mereka ngobrol tentang banyak hal. Papa bertanya asal abang, pekerjaannya, dan lain-lain. papa nggak menjanjikan apapun pada abang kecuali mengizinkan bertemu aku tapi hanya di rumah saja, hiks. 😦 Aku kira semua baik-baik saja, abang pun cukup puas dengan jawaban papa saat itu. Rupanya semuanya berubah setelah abang pulang.

Perjanjian yang Kuat

“Dia bukan orang Arab. Papa dan mama nggak setuju. Kita ini keturunan Arab dan harus dapat orang Arab juga” kata papa lantang. Begitulah tradisi keluarga Arab, demi melanggengkan darah Arab di tubuh kami, pernikahan antar sesama Arab terus dilakukan. Papa dan mama pun masih ada hubungan keluarga meskipun agak jauh. Menikah dengan yang bukan keturunan Arab adalah aib, memalukan. Ahh… benarkah tradisi semacam ini diteruskan? Benarkah Allah menginginkan orang Arab hanya berjodoh dengan sesamanya?? Sedih dan putus asa, itulah yang kurasakan saat itu. Kenapa harus begini? Di saat aku menemukan seorang lelaki yang baik cobaan kembali menghadang.

Orang Arab tak ubahnya manusia biasa, ada yang baik, ada pula yang tak baik. Aku sudah pernah menjalin hubungan dengan sesama Arab, hasilnya? Dia pergi dan hanya meninggalkan undangan pernikahan dan luka yang teramat dahsyat. Berkali-kali ku coba meyakinkan mama dan papa kalau abang adalah orang yang baik dan insyaallah shalih tapi hasilnya nihil. 😦 Akhirnya kami hanya bisa pasrah sambil terus memohon pada Allah. Apabila kami berjodoh, Allah pasti mempertemukan kami, aku yakin betul itu.

Beberapa bulan tak bertemu, hanya kontak via sms (belum ada bbm, WA, dkk) dan tetap saling mendoakan dari jauh hingga suatu hari aku teringat sebuah ayat Al Quran: “Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik.” (QS. An Nur: 26). Kemudian berlanjut dengan ayat lainnya: Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat: 13)

“Adakah Allah sebutkan Arab harus dengan Arab? Tidak ada! Di mata Allah hanya ketaqwaan lah yang membedakan antara manusia satu dan lainnya, bukan ras ataupun golongannya,” kataku pada mama dan papa suatu hari sambil menbacakan kedua ayat tersebut. Bukan hal sulit bagi Allah menciptakan manusia dengan bentuk yang sama persis, namun bukan begitu yang terjadi. Allah menciptakan manusia dengan berbagai suku dan warna dengan sebuah tujuan mulia, agar kita saling mengenal saling mencintai dan menghormati. Orang Arab yang taqwa akan di ganjar surga, begitupun dengan orang Jawa, Sumatra, Amerika, China. Kedua ayat itu adalah senjata pamungkasku, usaha terbaikku. Aku percaya dan yakin Allah akan memilih yang terbaik untukku. Kutinggalkan kedua orang tuaku untuk berpikir, aku yakin mereka mengerti. Keduanya memiliki pikiran yang terbuka dan mengerti ajaran Allah dan Rasul Nya.

my wedding

“Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyut taufiq.”  20 Januari 2007, tepatnya tanggal 1 Muharram abang mengucap Ijab Kabul dalam bahasa Arab dengan lancar tanpa kendala apapun. Sejak hari itu pulalah seorang pria berdarah Aceh resmi menjadi imamku dan menjadi bagian dari keluarga kami. Tak perlu dimasukkan hati kata-kata orang lain yang mengecam keputusan  orang tuaku menerima menantu non Arab, toh jodoh adalah mutlak urusan Allah. Alhamdhulilah abang dapat menyesuaikan diri dengan baik, begitu pula aku di keluarganya. Papa pernah bilang, ‘bukan Arab nggak apa-apa lah, kan masih dapat serambinya (serambi Mekkah: Aceh) hehehe. ;)Setelah menikah aku baru tersadar bahwa semua ucapanku dulu diamini Allah. Mendapat jodoh dari jauh (dari ujung Indonesia) dan menikah pada tanggal 1 Muharram, subhanallah. 🙂

Indahnya Perbedaan

Seminggu setelah menikah kami kembali terpisah jarak, abang bekerja di Surabaya dan aku melanjutkan kuliah di Jogjakarta. Long distance marriage ini terus bertahan hingga lebih dari empat tahun pernikahan kami. Aku kekeuh ingin mengejar karier sebagai dosen di Semarang, dan abang tetap bekerja di Surabaya. Pada pertengahan tahun kelima pernikahan kami abang terkena DBD akut hingga di opname di RS lebih dari seminggu. HB terus saja drop, badan lemas karena terus menerus muntah. Sebulan kemudian Nadia  menyusul masuk RS karena asmanya kambuh. Nadia terus saja menangis memanggil papanya. Rupanya ini peringatan dari Allah untukku agar segera mengakhiri keegoisanku. Setelah melalui perenungan panjang dan doa yang terus-menerus kuputuskan meninggalkan pekerjaan dan menyusul abang ke Surabaya.  Dua minggu sebelum anniversary kami yang kelima kami sudah berkumpul di rumah mungil kami yang baru di Sidoarjo. 🙂

DSC_0396Perjanjian yang kuat, itulah yang ingin kupertahankan. Karier dan harta dapat dicari, namun keluarga tetaplah yang utama. Alhamdhulilah kini kami sudah berkumpul menjadi keluarga yang seutuhnya dalam ikatan cinta yang kuat. Dengan berkumpulnya kami banyak hikmah yang kudapatkan. Nadia tumbuh lebih percaya diri dan bahagia karena dekat dengan papanya, aku pun dapat kembali menekuni hobbyku, traveling. Yup, satu lagi kuasa Allah mempertemukan dua pasang kaki penggila traveling. Cita-cita kami ingin mengarungi bumi Allah yang indah ini bersama. 🙂 Semoga Allah senantiasa memberikan sakinah, mawaddah, rahmah, dan rizki pada keluarga kecil kami, amiinn. 🙂

 

Mitsaqan Ghaliza

“tulisan ini disertakan dalam Giveaway Novel Perjanjian yang Kuat”

38 thoughts on “Gelombang Tsunami Datang Bersamamu

  1. Aamiin. Semoga semua harapannya terwujud ya, Mak.

    Sukses untuk ngontesnya.

    Btw, kirain tuh cuma rumor kalo orang Arab harus nikah dengan orang Arab juga. Oh, ternyata bener 🙂

    Like

    • sungguh amat sangat benar adanya begitu mak, walaupun alhamdhulilah kebiasaan itu sudah mulai di tinggalkan walaupun masih sedikit banget sih angkanya. namanya jodoh mana bisa dipaksa, iya nggak mak 🙂
      amiiinn… makasih doanya 🙂

      Like

  2. uwaa…
    kisah yang mengharukan ya mbak…
    bukan budaya atau harta atau keturunan yang seharusnya dipertimbangkan dalam pernikahan. Tetapi akhlaknya. Kalau masalah keimanan tentu saja di daftar utama. bukan begitu mbak? 🙂

    Like

  3. ‘bukan Arab nggak apa-apa lah, kan masih dapat serambinya …
    qiqiqi … Saya tersenyum mendengar gurauan Papa …

    Kita kurang lebih senasib Mbak …
    Jika boleh sedikit bercerita … Saya ini suku Jawa … asli …
    Istri saya … suku Minang … yang juga asli …
    So ??? Kita ini keluarga TerJAMIN … Tercampur Jawa Minang … hahaha
    Alhamdulillah … kedua belah keluarga kami mendukung-mendukung saja.
    Seninya adalah adaptasi … misal makanan …
    Saya jadi suka gulai otak …
    Istri saya jadi suka pecel lele … hahaha

    Salam saya Mbak Muna

    Like

  4. Alhamdulillaah…, akhirnya semua dapat teratasi ya, Mbak. Meski beda versi, awal saya menikah juga ada gelombang, saya dari keluarga pesantren dapat keluarga umum istilahnya; saya tetap bergerak dan bismilah, lawong saya ketemunya di masjid, ia guru ngaji anak-anak, tetap mantap saya, dan alhamdulillaah… segala rintangan dapat diatasi dan hingga kini bahagia yang semoga dalam ridha-Nya.

    Like

  5. Sebuah keyakinan yang sangat kuat, bahwa semua disandarkan pada ridho Alloh Ta’ala dan semua berjalan dengan baik. Perkara seperti ini perlu ditanamkan pada setiap orang bahwa asal usul seseorang tidaklah menjamin tingkat kebaikan seseorang dalam menjalankan kehidupan termasuk dalam membina rumah tangga.
    Ternyata dengan penjelasan ini, apa yang saya dengar bahwa keturunan arab harus mendapatkan yang sama ternyata benar. Saya kira dulu hanyalah guyonan saja.

    Like

  6. Aamiin. Membacanya seperti mengalami sendiri. MasyaAllah.. .. Alllah memberi lewat jalan yg tidak kita sangka sebelumnya ya mba… Dan bersyukurlah karena Allah mengabulkan keinginan mba Muna 🙂 Sukses buat ngontesnya

    Like

  7. Meskipun sudah mendengar langsung saat berbincang2 denganmu, tetap saja aku suka tulisanmu ini jeng. Semoga perjanjian kuat yg telah dilakukan itu dapat langgeng dan dipenuhi oleh rahmat Allah ya. Sun suuun buat Nadia, klo sama emaknya sih ogah 😀

    Like

    • hiks.. iyo mbak sadiisss beneerrr. Tapi ya itulah bener kata mbak Myra, kalo belum jodoh ya nggak akan ketemu ya mbak. alhamdhulilah dapet ganti yg lebih baik 🙂 Makasih doanya mbak 🙂

      Like

  8. Indahnyaaaaaaa
    Ini kayak Shireen Sungkar, menikahnya juga sama orang Aceh, Kayaknya menganut filosofi yang sama dengan ortu mbak Muna. Gpp bukan Arab … kan di serambinya? 🙂 *becanda mbak ^_^*

    Moga langgeng dan sukses GAnya ya 🙂

    Like

  9. mengharukan maak kisahnya. Kalau jodoh memang ga lari kemana … Semoga langgeng terus n sukses ngontesnya yaa..
    *itu mantannya udah kayak lagu tenda biru ajaa.. emang sadis.com

    Like

Leave a comment